Organisasi
Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa
STOVIA di Batavia dengan Sutomo sebagai ketuanya. Terbentuknya
organisasi tersebut atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang sebelumnya
telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenya membentuk Studiefounds.
Dr Sutomo |
Gagasan
Studiesfounds bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa
bagi pelajar yang berprestasi, namun tidak mampu melanjutnya studinya.
Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan itu melahirkan Budi Utomo. Tujuan Budi Utomo adalah memajukan pengajaran dan kebudayaan.
Tujuan tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut:
1) memajukan pengajaran;
2) memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan;
3) memajukan teknik dan industri
4) menghidupkan kembali kebudayaan.
Dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan
merupakan organisasi politik melainkan merupakan organisasi pelajar
dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai menjelang kongresnya yang
pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi Utomo mengadakan kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai berikut.
1) Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
2) Kegiatan Budi Utomo terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
3) Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada daerah Jawa dan Madura.
4) Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.
5) Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Sampai dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan
jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya
kongres tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi
muda ke generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan
depan, dan anggota Budi Utomo kebanyakan
dari golongan priayi dan pegawai negeri. Dengan demikian, sifat
protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang. Strategi perjuangan BU pada dasarnya bersifat kooperatif.
Mulai tahun 1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan R.T. Notokusumo, Budi Utomo ingin
mengejar ketinggalannya. Akan tetapi, hasilnya tidak begitu besar
karena pada saat itu telah muncul organisasi-organisasi nasional
lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche Partij (IP).
Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yakni telah membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tahun hingga sekarang.
2. Sarekat Islam (SI)
H Samanhudi |
Tiga tahun
setelah berdirinya Budi Utomo, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat
Dagang Islam ( SDI ) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik
dari Laweyan Solo.
Organisasi Sarekat Dagang Islam berdasar pada dua hal berikut ini.
a. Agama Islam.
b. Ekonomi,
yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan sebagai
leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya).
Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian
diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas
anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja.
Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat Islam sebagai berikut:
1) memajukan perdagangan;
2) membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan);
3) memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli;
4) memajukan kehidupan agama Islam.
Melihat tujuannya tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi, Sarekat Islam dengan
gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran terhadap penindasan
dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di samping
tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara anggota.
Itulah sebabnya dalam waktu singkat, Sarekat Islam berkembang menjadi anggota massa yang pertama di Indonesia. Sarekat Islam merupakan gerakan nasionalis, demokratis dan ekonomis, serta berasaskan Islam dengan haluan kooperatif.
Mengingat perkembangan Sarekat Islam yang begitu pesat maka timbullah kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg sehingga permohonan Sarekat Islam sebagai
organisasi nasional yang berbadan hukum ditolak dan hanya diperbolehkan
berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah berdiri 56 Sarekat Islam lokal yang diakui sebagai badan hukum.
Pada tahun
1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di
Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama antar Sarekat Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan Kongres SI Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan bahwa Sarekat Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa.
Sifat Sarekat Islam yang
demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk
kepentingan rakyat kecil sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri
yang tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV)
pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin
(Indonesia).
Itulah sebabnya dalam perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua kelompok berikut ini.
1) Kelompok nasionalis religius ( nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan Sarekat Islam Putih dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
2) Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah dengan haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.
3. Indische Partij (IP)
Douwes Dekker |
Indische
Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga
Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto
Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Organisasi
ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di
Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina,
Arab, dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan
membutuhkan semangat nasionalisme Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar-luaskan melalui surat kabar De Expres. Di samping itu juga disusun program kerja sebagai berikut:
1) meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
2) memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan, maupun kemasyarakatan.
3) memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain.
4) memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.
5) berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.
6) dalam hal
pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi
Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Melihat tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indische Partij merupakan
partai politik pertama di Indonesia dengan haluan kooperasi. Dalam
waktu yang singkat telah mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang
7.000 orang yang kebanyakan orang Indo.
Oleh karena
sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai politik dengan
tujuan yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah menolak
untuk memberikan badan hukum dengan alasan Indische Partij bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban umum. Walaupun demikian, para pemimpin Indische Partij masih terus mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.
Satu hal
yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah tulisan
Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als ik een Nederlander was
(seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap
ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat
mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga
pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.
Dengan diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). National Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.
4. Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan |
Muhammadiyah
didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia,
sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan,
pendidikan, dan sosial menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir
batin.
Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut.
1) memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam;
2) mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1) mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK sampai
dengan perguruan tinggi);
2) mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid;
3) menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah
berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan
Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama
Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam
sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan
Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan
Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ).
Sejak
berdiri di Yogyakarta (1912) Muhammadiyah terus mengalami perkembangan
yang pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang
yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun 1935, Muhammadiyah sudah
mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi.
5. Gerakan Pemuda
Gerakan
pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo,
namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan
tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan
keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya
pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R.
Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi.
Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai berikut:
Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai berikut:
1) mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;
2) menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
3) membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.
Tujuan
tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang
sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo
yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara
pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena
sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak
berbudaya Jawa) kurang senang.
Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.
Sejalan
dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk
organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong
Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi,
Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua
organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai
cita-cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan
daerah masing-masing.
6. Taman Siswa
Ki Hajar Dewantara |
Sekembalinya
dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi
Suryaningrat menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada
tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki
Hajar Dewantara) berhasil mendirikan perguruan Taman Siswa di
Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat memulai
gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik melainkan bidang
pendidikan, yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan
Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa.
Sekolah
Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi nasionalisme
kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik
calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang.
Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Penididikan
Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola belajar "asah,
asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk bersikap
dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di tengah
dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan pengawasan
yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal dengan
pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi
ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa
dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka
maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) ditetapkant
sebagai hari Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri Handayani"
sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.
7. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Benih-benih
paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama
H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9
Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder,
H.W. Dekker, dan P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang
sehingga Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke
dalam tubuh SI dengan menjadikan anggota-anggota ISDV sebagai anggota
SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI menjadi anggota ISDV.
Dengan cara
itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di
kalangan SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa
pemimpin SI, seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik
secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI
Cabang Semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV semakin jelas
warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal
23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya
pada bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia. (PKI).
Susunan pengurus PKI , antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil
ketua), Bersgma (sekretaris), dan Dekker (bendahara).
PKI semakin
aktif dalam percaturan politik dan untuk menarik massa maka dalam
propagandanya PKI menghalalkan secara cara. Sampai-sampai tidak
segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al -
Qur'an dan Hadis bahkan juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil.
Kemajuan
yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan
suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan
pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan
PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat
semua pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas. Akhirnya, ribuan
rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Tanah Merah dan Digul Atas
(Papua).
8. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Algemene
Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925
telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik,
yakni Partai Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung pada
tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir.
Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi,
dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan
anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke
tanah air.
Radikal PNI
telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran
dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi
perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI
berasaskan pada self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya
memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak
oleh penjajah dengan kekuatan sendiri; nonkooperatif, yakni tidak
mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda; Marhaenisme, yakni
mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana
dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928,
seperti berikut.
1) Usaha
politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran
atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah
kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan
menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.
2) Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi.
3) Usaha
sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan
derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi,
memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.
Untuk
menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda, baik
lewat surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan
Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno
sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga
menimbulkan kekhaw-tiran di pihak pemerintah Belanda. Pemerintah
kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri
dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya.
Dengan
munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan
pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia
Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap
empat pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan
Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung.
Dalam sidang
pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia
Menggugat. Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal
169 KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan
menentang kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara
Sukamiskin Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara
dipegang oleh Mr. Sartono dan dengan pertimbangan demi keselamatan maka
pada tahun 1931 oleh pengurus besarnya PNI dibubarkan. Hal ini
menimbulkan pro dan kontra.
Mereka yang
pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia
(Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin
tetap melestarikan nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional
Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan
Syahrir.
9. Gerakan Wanita
RA Kartini |
Munculnya
gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini
yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A.
Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia
melalui pendidikan.
Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung.
Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung.
Semasa
Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang
pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara
lain sebagai berikut.
1) Putri
Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi
wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain
R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.
2)
Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912)
dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di
Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.
3) Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914).
Tujuannya
meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca,
menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara
pemasarannya.
4) Aisyiah,
merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj.
Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan
dan keagamaan kaum wanita.
5)
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan
Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito
Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di
Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan
Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).
Organisasi
wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche
Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani
yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi
wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk
menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik
organisasi wanita,
antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting
Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di
Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia.
Puncak
gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan
Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres
menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan
kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres
Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi
Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I
merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita
Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.
0 komentar:
Posting Komentar