By Risman | At 19.17 | Label : | 0 Comments
Dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaannya, selain melakukan perjuangan bersenjata ,
pemerintah Indonesia juga menempuh cara diplomasi untuk menghindari
korban yang besar akibat perang dan untuk memperoleh pengakuan
internasional. Diplomasi yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia antara
lain melalui pertemuan (1) Hoge Veluwe, (2) Perundingan Linggajati, (3)
Perundingan Renville, (4) Persetujuan Roem-Royen, dan (5) Konferensi
Meja Bundar.
a. Pertemuan Hoge Veluwe
Pertemuan Hoge Veluwe yang dilakukan di Belanda pada bulan April 1946 terlaksana dengan perantaraan seorang diplomat Inggris, yaitu Sir Archibald Clark Keer. Dalam pertemuan Hoge Veluwe, delegasi Indonesia terdiri atas Mr. Suwandi, Dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo sedangkan Belanda diwakili oleh Dr. H.J. van Mook. Walaupun wakil-wakil Indonesia sudah berusaha keras dalam diplomasi itu, akan tetapi pertemuan ini tidak memberikan hasil karena Belanda menolak untuk mengakui wilayah RI yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra secara de facto. Belanda menyodorkan ikatan kenegaraan dengan Republik Indonesia sebagai bagian suatu federasi. Karena belum memperoleh kesepakatan, kedua negara tersebut kembali merencanakan perundingan.
b. Perundingan Linggajati
Perundingan Liggarjadi diinisiasi oleh seorang diplomat Inggris bernama Lord Killearn, pertemuan tersebut diawali dengan pertemuan antara wakil Indonesia dan Belanda di Istana Negara dan Pegangsaan Timur 56. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan kemudian dilanjutkan sebuah daerah pegunungan di Cirebon yang bernama Linggajati. Dalam Perundingan Linggajati, disepakati bahwa secara de facto, Belanda mengakui Republik Indonesia yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra akan dibentuk negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya dan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
c. Perundingan Renville
Kesepakatan yang dihasilkan pada perundingan Linggajati ternyata sulit terlaksana. Belanda bahkan melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Akibatnya Dewan Keamanan PBB kemudian mengirimkan komisi jasa baik yang terdiri atas 3 negara yaitu Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Mereka bertindak sebagai perantara perundingan. Perundingan yang diinisiasi komisi tersebut kemudian dilakukan di sebuah kapal perang milik Amerika Serikat. Perundingan ini dikenal dengan nama perundingan Renville mengambil nama kapal tersebut : USS Renville.
Pada perundingan tersebut, delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Hasil perundingan Renville antara lain : (1) Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, (2) RI sejajar kedudukannya dengan Belanda, (3) RI menjadi bagian dari RIS, dan (4) akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS. Selain itu, tentara Indonesia di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI.
d. Perundingan Roem-Royen
Hasil perundingan Renville juga akhirnya tidak dilaksanakan bahkan Belanda melanggar kesepakatan dalam perundingan tersebut dan melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi ini dikecam oleh dunia internasional, karena itu Belanda pun menyetujui diadakannya perundingan kembali dengan mengirimkan van Royen sebagai wakilnya. Indonesia menugaskan Moh. Roem sebagai utusan. Perundingan tersebut dilaksanakan di Hotel Des Indes pada tanggal 14 April– 7 Mei 1949.
Perundingan Roem-Royen menghasilkan kesepakatan antara lain (1) penghentian perang gerilya, (2) pemimpin-pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta, (3) Belanda akan menyokong RI untuk menjadi negara bagian RIS dengan memiliki sepertiga suara dalam perwakilan rakyat, dan (3) kedua belah pihak akan ikut dalam Konferensi Meja Bundar.
e. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Pada konferensi tersebut, delegasi Belanda dipimpin oleh van Marseveen, sedangkan delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh. Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan federal yang terdiri atas negara-negara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang berlangsung pada tanggal 23 Agustus–2 November tahun 1949. Kesepakatan yang dicapai dalam KMB sebagai berikut.
Meskipun hasil KMB tidak memuaskan banyak pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS dilakukan.
a. Pertemuan Hoge Veluwe
Pertemuan Hoge Veluwe yang dilakukan di Belanda pada bulan April 1946 terlaksana dengan perantaraan seorang diplomat Inggris, yaitu Sir Archibald Clark Keer. Dalam pertemuan Hoge Veluwe, delegasi Indonesia terdiri atas Mr. Suwandi, Dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo sedangkan Belanda diwakili oleh Dr. H.J. van Mook. Walaupun wakil-wakil Indonesia sudah berusaha keras dalam diplomasi itu, akan tetapi pertemuan ini tidak memberikan hasil karena Belanda menolak untuk mengakui wilayah RI yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra secara de facto. Belanda menyodorkan ikatan kenegaraan dengan Republik Indonesia sebagai bagian suatu federasi. Karena belum memperoleh kesepakatan, kedua negara tersebut kembali merencanakan perundingan.
b. Perundingan Linggajati
Perundingan Liggarjadi diinisiasi oleh seorang diplomat Inggris bernama Lord Killearn, pertemuan tersebut diawali dengan pertemuan antara wakil Indonesia dan Belanda di Istana Negara dan Pegangsaan Timur 56. Pemerintah Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Perundingan kemudian dilanjutkan sebuah daerah pegunungan di Cirebon yang bernama Linggajati. Dalam Perundingan Linggajati, disepakati bahwa secara de facto, Belanda mengakui Republik Indonesia yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra akan dibentuk negara federal yang dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya dan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
c. Perundingan Renville
Kesepakatan yang dihasilkan pada perundingan Linggajati ternyata sulit terlaksana. Belanda bahkan melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Akibatnya Dewan Keamanan PBB kemudian mengirimkan komisi jasa baik yang terdiri atas 3 negara yaitu Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Mereka bertindak sebagai perantara perundingan. Perundingan yang diinisiasi komisi tersebut kemudian dilakukan di sebuah kapal perang milik Amerika Serikat. Perundingan ini dikenal dengan nama perundingan Renville mengambil nama kapal tersebut : USS Renville.
Pada perundingan tersebut, delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh seorang Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo. Hasil perundingan Renville antara lain : (1) Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, (2) RI sejajar kedudukannya dengan Belanda, (3) RI menjadi bagian dari RIS, dan (4) akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS. Selain itu, tentara Indonesia di daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI.
d. Perundingan Roem-Royen
Hasil perundingan Renville juga akhirnya tidak dilaksanakan bahkan Belanda melanggar kesepakatan dalam perundingan tersebut dan melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi ini dikecam oleh dunia internasional, karena itu Belanda pun menyetujui diadakannya perundingan kembali dengan mengirimkan van Royen sebagai wakilnya. Indonesia menugaskan Moh. Roem sebagai utusan. Perundingan tersebut dilaksanakan di Hotel Des Indes pada tanggal 14 April– 7 Mei 1949.
Perundingan Roem-Royen menghasilkan kesepakatan antara lain (1) penghentian perang gerilya, (2) pemimpin-pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta, (3) Belanda akan menyokong RI untuk menjadi negara bagian RIS dengan memiliki sepertiga suara dalam perwakilan rakyat, dan (3) kedua belah pihak akan ikut dalam Konferensi Meja Bundar.
e. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Pada konferensi tersebut, delegasi Belanda dipimpin oleh van Marseveen, sedangkan delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh. Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan federal yang terdiri atas negara-negara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang berlangsung pada tanggal 23 Agustus–2 November tahun 1949. Kesepakatan yang dicapai dalam KMB sebagai berikut.
- Belanda akan menyerahkan kedaulatannya kepada Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali paling lambat tanggal 30 Desember 1949.
- Indonesia berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda.
- Segala hak dan kewajiban Belanda di Indonesia akan diterima dan dibebankan kepada Indonesia.
- Indonesia dengan Belanda akan mengadakan perjanjian dalam bidang ekonomi, keuangan, dan kebudayaan.
- Irian Barat masih merupakan daerah perselisihan dan akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
Konferensi Meja Bundar |
Meskipun hasil KMB tidak memuaskan banyak pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS dilakukan.